acam-macam sita jaminan adalah:
a. Sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap barang milik tergugat.
b. Sita revindicatoir adalah sita terhadap barang bergerak milik penggugat yang ada ditangan tergugat.
c. Sita marital yaitu sita terhadap harta perkawinan.
Tata cara penyitaan terdiri atas:
1. Penyitaan dilakukan oleh panitera PN atas perintah ketua PN,
2. Panitera wajib membuat berita acara penyitaan,
3. Panitera wajib memberitahukan isi berita acara penyitaan kpd tersita kalau tersita hadir,
4. Dalam melakukan penyitaan, panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta memnandatangani berita acara.
Selasa, 23 November 2010
Macam Penyitaan Perdata dan Tatacaranya
Penyitaan Dalam Perkara Pidana
PENYITAAN
Tata cara penyitaan dalam keadaan normal:
a. harus ada surat ijin penyitaan dari ketua PN
b. penyidik hrs menunjukkan tanda pengenal
c. penyidik harus memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang darimana benda itu akan disita.
d. Penyitaan harus disaksikan sekurang-kurangnya tiga orang saksi yaitu kades atau pala ditambah dua orang saksi lainnya.
e. Penyidik wajib membuat berita acara penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik, org ybs atau keluarganya dan ketiga orang saksi masing-masing membubuhkan tandatangan.
f. Penyidik hrs menyampaikan turunan berita acara penyitaan kpd org darimana barang itu disita atau keluarganya dan kepada kades setempat. (psl 38 s/d 46 dan 128 s/d 130)
Penyitaan dalam keadaan mendesak
a. bilamana disuatu tempat diduga keras terdapat benda atau BB yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan patut dikhawatirkan bahwa benda tersebut akan segera dilarikan atau dimusnahkan atau dipindahkan oleh tersangka;
b. tidak memerlukan surat ijin ketua PN
c. penyitaan hanya terbatas atas benda bergerak saja,
d. segera setelah penyitaan, penyidik wajib melaporkan kepada ketua PN guna mendapatkan persetujuan (psl 41)
Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan (psl 40)
Penyitaan tidak langsung
Penyidik memerintahkan kpd org-org yg menguasai atau memegang benda yg diduga dipergunakan alat utk melakukan tindak pidana, agar benda tsb diserahkan kpd penyidik utk disita, penyidik memberikan tanda terima atas penyerahan benda tsb. (psl 42)
Penyitaan surat atau tulisan lain yang disimpan atau dikuasai oleh orang tertentu yang oleh UU diwajibkan merahasiakannya (mis: akta notaris) hanya dapat disita atas persetujuan mereka yang dibebani kewajiban oleh uu untuk merahasiakannya, apabila tidak ada persetujuan dari mereka maka harus atas ijin khusus ketua PN. (psl 43 KUHAP)
Benda yang dapat disita (psl 39):
Ayat 1:
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yg seluruh atau sebagian, diduga berasal dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntkkan melakukan tindak pidana.
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Ayat 2:
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat 1.
Pengembalian barang sitaan
Pengembalian barang sitaan sebelum perkara yang berhubungan dengan benda sitaan itu belum memperoleh keputusan yang tetap:
a. apabila secara nyata dan objektif pemeriksaan penyidikan tidak memerlukannya lagi,
b. atau apabila perkara tersebut tidak dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana,
c. apabila perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum,
d. atau perkara tersebut ditutup demi hukum, karena nebis in idem atau tersangka meninggal dunia atau karena tuntuttan terhadap tindak pidana sudah kadaluwarsa.
Pengembalian barang sitaan apabila perkaranya sudah diputus harus dikembalikan kepada orang yang berhak sesuai dengan amar putusan.
Pengembalian benda sitaan oleh penyidik:
a. apabila benda sitaan terebut tidak diperlukan untuk kepentingan pembuktian.
b. apabila pemeriksaan perkara dihentkan dalam tahap penyidikan. (vide psl 46)
Penyidik berwenang meminjamkan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita.
Penuntut umum berwenang meminjamkan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita.
Hak terdakwa di muka persidangan pengadilan:
a. berhak untuk disidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
b. berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli, yang memberikan keterangan yang menguntungkan bagi terdakwa (a de charge).
c. persidangan wajib memanggil dan memeriksa saksi atau ahli yang diajukan oleh terdakwa. (vide psl 116/3 dan 4, psl 160/1e)
Tata cara penyitaan dalam keadaan normal:
a. harus ada surat ijin penyitaan dari ketua PN
b. penyidik hrs menunjukkan tanda pengenal
c. penyidik harus memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang darimana benda itu akan disita.
d. Penyitaan harus disaksikan sekurang-kurangnya tiga orang saksi yaitu kades atau pala ditambah dua orang saksi lainnya.
e. Penyidik wajib membuat berita acara penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik, org ybs atau keluarganya dan ketiga orang saksi masing-masing membubuhkan tandatangan.
f. Penyidik hrs menyampaikan turunan berita acara penyitaan kpd org darimana barang itu disita atau keluarganya dan kepada kades setempat. (psl 38 s/d 46 dan 128 s/d 130)
Penyitaan dalam keadaan mendesak
a. bilamana disuatu tempat diduga keras terdapat benda atau BB yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan patut dikhawatirkan bahwa benda tersebut akan segera dilarikan atau dimusnahkan atau dipindahkan oleh tersangka;
b. tidak memerlukan surat ijin ketua PN
c. penyitaan hanya terbatas atas benda bergerak saja,
d. segera setelah penyitaan, penyidik wajib melaporkan kepada ketua PN guna mendapatkan persetujuan (psl 41)
Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan (psl 40)
Penyitaan tidak langsung
Penyidik memerintahkan kpd org-org yg menguasai atau memegang benda yg diduga dipergunakan alat utk melakukan tindak pidana, agar benda tsb diserahkan kpd penyidik utk disita, penyidik memberikan tanda terima atas penyerahan benda tsb. (psl 42)
Penyitaan surat atau tulisan lain yang disimpan atau dikuasai oleh orang tertentu yang oleh UU diwajibkan merahasiakannya (mis: akta notaris) hanya dapat disita atas persetujuan mereka yang dibebani kewajiban oleh uu untuk merahasiakannya, apabila tidak ada persetujuan dari mereka maka harus atas ijin khusus ketua PN. (psl 43 KUHAP)
Benda yang dapat disita (psl 39):
Ayat 1:
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yg seluruh atau sebagian, diduga berasal dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntkkan melakukan tindak pidana.
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Ayat 2:
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat 1.
Pengembalian barang sitaan
Pengembalian barang sitaan sebelum perkara yang berhubungan dengan benda sitaan itu belum memperoleh keputusan yang tetap:
a. apabila secara nyata dan objektif pemeriksaan penyidikan tidak memerlukannya lagi,
b. atau apabila perkara tersebut tidak dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana,
c. apabila perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum,
d. atau perkara tersebut ditutup demi hukum, karena nebis in idem atau tersangka meninggal dunia atau karena tuntuttan terhadap tindak pidana sudah kadaluwarsa.
Pengembalian barang sitaan apabila perkaranya sudah diputus harus dikembalikan kepada orang yang berhak sesuai dengan amar putusan.
Pengembalian benda sitaan oleh penyidik:
a. apabila benda sitaan terebut tidak diperlukan untuk kepentingan pembuktian.
b. apabila pemeriksaan perkara dihentkan dalam tahap penyidikan. (vide psl 46)
Penyidik berwenang meminjamkan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita.
Penuntut umum berwenang meminjamkan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita.
Hak terdakwa di muka persidangan pengadilan:
a. berhak untuk disidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
b. berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli, yang memberikan keterangan yang menguntungkan bagi terdakwa (a de charge).
c. persidangan wajib memanggil dan memeriksa saksi atau ahli yang diajukan oleh terdakwa. (vide psl 116/3 dan 4, psl 160/1e)
Penyerahan Berkar Perkara
PENYERAHAN BERKAS PERKARA
Penyerahan berkas perkara tahap pertama (prapenuntutan)
a. Penyidik secara nyata dan fisik menyampaikan berkas perkara kpd penuntut umum.
b. Namun demikian penyidikan belum dianggap selesai, sebab masih ada kemungkinan hasil penyidikan yang diserahkan akan dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik dengan petunjuk agar penyidik melakukan tambahan pemeriksaan penyidikan.
c. Apabila penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan berkas perkara untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan, dan dalam tempo 14 hari sesudah penerimaan pengembalian berkas perkara dari penuntut umum, penyidik harus menyelesaikan pemeriksaan penyidikan tambahan dan mengembalikan berkas kepada penuntut umum.
d. Penydikan dianggap lengkap dan selesai, apabila dalam tenggang waktu 14 hari dari tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara kepada penyidik atau penuntut umum telah menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap.
Penyerahan tahap kedua (penuntutan)
a. Terhitung sejak berkas perkara dinyatakan lengkap.
b. Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kpd penuntut umum.
Penyerahan berkas perkara tahap pertama (prapenuntutan)
a. Penyidik secara nyata dan fisik menyampaikan berkas perkara kpd penuntut umum.
b. Namun demikian penyidikan belum dianggap selesai, sebab masih ada kemungkinan hasil penyidikan yang diserahkan akan dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik dengan petunjuk agar penyidik melakukan tambahan pemeriksaan penyidikan.
c. Apabila penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan berkas perkara untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan, dan dalam tempo 14 hari sesudah penerimaan pengembalian berkas perkara dari penuntut umum, penyidik harus menyelesaikan pemeriksaan penyidikan tambahan dan mengembalikan berkas kepada penuntut umum.
d. Penydikan dianggap lengkap dan selesai, apabila dalam tenggang waktu 14 hari dari tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara kepada penyidik atau penuntut umum telah menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap.
Penyerahan tahap kedua (penuntutan)
a. Terhitung sejak berkas perkara dinyatakan lengkap.
b. Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kpd penuntut umum.
Penuntutan
Penuntutan adalah:
Tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang berwenang dengan permintaan supaya perkara tersebut diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. (vide psl 1 butir 7)
Surat dakwaan
a. rumusan surat dakwaan harus sejalan dengan hasil pemeriksaan penyidikan.
b. Surat dakwaan adalah dasar pemeriksaan hakim.
Syarat surat dakwaan
a. syarat formal, dakwaan harus memuat tanggal dan tandatangan dari penuntut umum, memuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
b. Syarat materiil, dakwaan harus memuat uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, dan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti) (vide psl 143)
Kekurangan syarat formal tidak menyebabkan batal demi hukum akan tetapi dapat dibatalkan, sedangkan kekurangan syarat materiil mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum.
Bentuk-bentuk surat dakwaan:
a. Dakwaan biasa, disusun hanya berisi satu saja dakwaan.
b. Dakwaan alternatif, antara isi rumusan dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan, dan memberi pilihan kepada hakim untuk menentukan dakwaan mana yng terbukti.
c. Dakwaan subsidair, bentuk surat dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun secara berurutan mulai dari dakwaan tindak pidana yang terberat sampa kepada dakwaan tindak pidana yang teringan.
d. Dakwaan kumulasi, dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran sekaligus.
Pemecahan berkas perkara (splitsing):
a. apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat memecah perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa,
b. sehingga, berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa perkara.
c. Dengan pemecahan berkas perkara, masing-masing tredakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdiri sendiri.
Pelimpahan berkas perkara kepengadilan:
a. pelimpahan berkas perkara ke pengadilan dilakukan dengan surat pelimpahan perkara dengan dilampiri surat dakwaan dan berkas perkara dengan permintaan agar PN segera mengadili.
b. Turunan/salinan pelimpahan berkas perkara beserta surat dakwaan disampaikan kpd tersangka atau penasihat hukumnya, bersamaan waktunya dengan penyampaian pelimpahan berkas perkara ke PN. (vide, psl 143/1)
Perubahan surat dakwaan:
a. perubahan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
b. Perubahan hanya dapat dilakukan selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai.
c. Penuntut umum harus menyampaikan turunan perubahan surat dakwaan kpd tersangka atau penasihat hukumnya. (vide, psl 144)
Tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang berwenang dengan permintaan supaya perkara tersebut diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. (vide psl 1 butir 7)
Surat dakwaan
a. rumusan surat dakwaan harus sejalan dengan hasil pemeriksaan penyidikan.
b. Surat dakwaan adalah dasar pemeriksaan hakim.
Syarat surat dakwaan
a. syarat formal, dakwaan harus memuat tanggal dan tandatangan dari penuntut umum, memuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
b. Syarat materiil, dakwaan harus memuat uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, dan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti) (vide psl 143)
Kekurangan syarat formal tidak menyebabkan batal demi hukum akan tetapi dapat dibatalkan, sedangkan kekurangan syarat materiil mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum.
Bentuk-bentuk surat dakwaan:
a. Dakwaan biasa, disusun hanya berisi satu saja dakwaan.
b. Dakwaan alternatif, antara isi rumusan dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan, dan memberi pilihan kepada hakim untuk menentukan dakwaan mana yng terbukti.
c. Dakwaan subsidair, bentuk surat dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun secara berurutan mulai dari dakwaan tindak pidana yang terberat sampa kepada dakwaan tindak pidana yang teringan.
d. Dakwaan kumulasi, dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran sekaligus.
Pemecahan berkas perkara (splitsing):
a. apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat memecah perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa,
b. sehingga, berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa perkara.
c. Dengan pemecahan berkas perkara, masing-masing tredakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdiri sendiri.
Pelimpahan berkas perkara kepengadilan:
a. pelimpahan berkas perkara ke pengadilan dilakukan dengan surat pelimpahan perkara dengan dilampiri surat dakwaan dan berkas perkara dengan permintaan agar PN segera mengadili.
b. Turunan/salinan pelimpahan berkas perkara beserta surat dakwaan disampaikan kpd tersangka atau penasihat hukumnya, bersamaan waktunya dengan penyampaian pelimpahan berkas perkara ke PN. (vide, psl 143/1)
Perubahan surat dakwaan:
a. perubahan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
b. Perubahan hanya dapat dilakukan selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai.
c. Penuntut umum harus menyampaikan turunan perubahan surat dakwaan kpd tersangka atau penasihat hukumnya. (vide, psl 144)
Eksepsi Pidana
Eksepsi:
a. Diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya
b. Tangkisan atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap materi pokok surat dakwaan akan tetapi ditujukan terhadap cacat formal yang melekat kpd surat dakwaan.
c. Diajukan setelah JPU membacakan surat dakwaan.
Macam-macam eksepsi dalam Hukum Acara Pidana:
a. Eksepsi tidak berwenang secara absolut (UU 14/1970 jo. UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman)
b. Eksepsi tidak berwenang secara relatif:
– Locus delicti (psl 84/1)
– Apabila kebanyakan saksi yang hendak didengar, tempat tinggalnya lebih dekat ke PN tempat tinggal terdakwa. (psl 84/2)
– Kewenangan atas penunjukan Menteri Kehakiman (psl 85)
– Kewenangan PN Jakpus berdasar UU atas tindak pidana yg dilakukan di luar negeri (psl 86)
c. Eksepsi kewenangan menuntut gugur
– Exceptio Judicate atau Nebis in idem (psl 76 KUHP)
– Exceptio in Tempores atau penuntutan tindak pidana yang ditujukan kepada terdakwa melampaui tenggang waktu yang ditentukan UU (psl 78 KUHP).
– Eksepsi terdakwa meninggal dunia (psl 77 KUHP)
d. Eksepsi tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
e. Eksepsi pemeriksaan penyidikan tidak memenuhi syarat ketentuan psl 56/1
f. Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat Klacht Delict (delik aduan).
g. Eksepsi lepas dari segala tuntutan hukum
Apabila tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata sehingga apa yg didakwakan pada dasarnya termasuk sengketa perdata yg harus diselesaikan melalui proses peradilan perdata (psl 67 Jo. Psl 191/2)
h. Eksepsi dakwaan tidak dapat diterima (psl 156/1)
– Eksepsi Subjudice: apa yang didakwakan kpd terdakwa persis sama dgn perkara pidana yg sedang berjalan pemeriksaannya di PN lain atau pada tingkat banding atau kasasi.
– Dakwaan tidak menyebut secara lengkap identitas terdakwa (psl 143/2a)
– Tidak menyebut locus dan tempus delicti (psl 143/2b)
– Dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap uraian mengenai tindak pidana yang didakwakan (psl 143/2b)
Tindakan hakim terhadap eksepsi:
a. mengabulkan eksepsi maka pemeriksaan pokok perkara dihentikan.
b. Menolak eksepsi maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan.
c. Eksepsi diputus setelah selesai pemeriksaan.
a. Diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya
b. Tangkisan atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap materi pokok surat dakwaan akan tetapi ditujukan terhadap cacat formal yang melekat kpd surat dakwaan.
c. Diajukan setelah JPU membacakan surat dakwaan.
Macam-macam eksepsi dalam Hukum Acara Pidana:
a. Eksepsi tidak berwenang secara absolut (UU 14/1970 jo. UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman)
b. Eksepsi tidak berwenang secara relatif:
– Locus delicti (psl 84/1)
– Apabila kebanyakan saksi yang hendak didengar, tempat tinggalnya lebih dekat ke PN tempat tinggal terdakwa. (psl 84/2)
– Kewenangan atas penunjukan Menteri Kehakiman (psl 85)
– Kewenangan PN Jakpus berdasar UU atas tindak pidana yg dilakukan di luar negeri (psl 86)
c. Eksepsi kewenangan menuntut gugur
– Exceptio Judicate atau Nebis in idem (psl 76 KUHP)
– Exceptio in Tempores atau penuntutan tindak pidana yang ditujukan kepada terdakwa melampaui tenggang waktu yang ditentukan UU (psl 78 KUHP).
– Eksepsi terdakwa meninggal dunia (psl 77 KUHP)
d. Eksepsi tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
e. Eksepsi pemeriksaan penyidikan tidak memenuhi syarat ketentuan psl 56/1
f. Eksepsi pemeriksaan tidak memenuhi syarat Klacht Delict (delik aduan).
g. Eksepsi lepas dari segala tuntutan hukum
Apabila tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata sehingga apa yg didakwakan pada dasarnya termasuk sengketa perdata yg harus diselesaikan melalui proses peradilan perdata (psl 67 Jo. Psl 191/2)
h. Eksepsi dakwaan tidak dapat diterima (psl 156/1)
– Eksepsi Subjudice: apa yang didakwakan kpd terdakwa persis sama dgn perkara pidana yg sedang berjalan pemeriksaannya di PN lain atau pada tingkat banding atau kasasi.
– Dakwaan tidak menyebut secara lengkap identitas terdakwa (psl 143/2a)
– Tidak menyebut locus dan tempus delicti (psl 143/2b)
– Dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap uraian mengenai tindak pidana yang didakwakan (psl 143/2b)
Tindakan hakim terhadap eksepsi:
a. mengabulkan eksepsi maka pemeriksaan pokok perkara dihentikan.
b. Menolak eksepsi maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan.
c. Eksepsi diputus setelah selesai pemeriksaan.
Putusan dan jenis-jenis putusan
Putusan dan jenis-jenis putusan:
a. Putusan bebas (vrijspraak), apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (psl 191/1)
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
c. Putusan pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (psl 193/1)
d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum yaitu apabila surat dakwaan tdk memenuhi unsur yang ditentukan dalam psl 143/2b. Pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum berdasarkan atas permintaan terdakwa atau PH dlm eksepsi maupun atas wewenang hakim krn jabatannya.
e. Putusan yang menyatakan dakwaan tdk dapat diterima yaitu apabila surat dakwaan mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara. Bisa cacat mengenai orang yang didakwa, keliru, susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan penuntut umum salah atau keliru.
a. Putusan bebas (vrijspraak), apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (psl 191/1)
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
c. Putusan pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (psl 193/1)
d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum yaitu apabila surat dakwaan tdk memenuhi unsur yang ditentukan dalam psl 143/2b. Pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum berdasarkan atas permintaan terdakwa atau PH dlm eksepsi maupun atas wewenang hakim krn jabatannya.
e. Putusan yang menyatakan dakwaan tdk dapat diterima yaitu apabila surat dakwaan mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara. Bisa cacat mengenai orang yang didakwa, keliru, susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan penuntut umum salah atau keliru.
Minggu, 21 November 2010
Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah Tangan
Oleh: Grace P. Nugroho, SH*)
Sumber : Hukumonlne.com
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.
Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan? Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll).
Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang.
Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.
Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.
Akibat Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian.
Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai
Pasal 372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.
Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.
Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.
Proses Eksekusi
Bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.
Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.
*) Penulis adalah advokat pada Kantor Bantuan Hukum (KBH) Lampung dan Achmad Imam Ghozali, SH and Partner (Law Firm), yang beralamat di Jln. Anggrek No. 19 Rawa Laut. Bandar Lampung. Telp. (0721) 256801, hp. 0812 7200 395 e-mail. nugroho-saja@telkom.net, purwonugroho@plasa.com
Sumber : Hukumonlne.com
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.
Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan? Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll).
Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang.
Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.
Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.
Akibat Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian.
Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai
Pasal 372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.
Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.
Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.
Proses Eksekusi
Bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.
Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.
*) Penulis adalah advokat pada Kantor Bantuan Hukum (KBH) Lampung dan Achmad Imam Ghozali, SH and Partner (Law Firm), yang beralamat di Jln. Anggrek No. 19 Rawa Laut. Bandar Lampung. Telp. (0721) 256801, hp. 0812 7200 395 e-mail. nugroho-saja@telkom.net, purwonugroho@plasa.com
Langganan:
Postingan (Atom)